Sejarah dan Spirit Berkurban dalam Al-Quran

Lafazh Qurban di dalam Al-Quran disebut sebanyak tiga kali yaitu di Surah Al-Maidah ayat 27, Al-Ahqaf ayat 28 dan Ali Imran ayat 183. Qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekat kepada Allah. Dalam perkembangannya syariat qurban dilakukan melalui penyembelihan hewan ternak dengan cara khusus dan waktu yang khusus pula, yaitu di tanggal 10 Dzulhijjah setelah menunaikan shalat Idul Adha hingga hari terakhir yaum tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.

 

Ibadah qurban dikenal sejak Nabi Adam as. sebagai salah satu syariat tertua di bumi ini. Tepatnya pada saat terjadi perselisihan yang disebabkan putra beliau yaitu Qabil kepada saudaranya Habil. Nabi Adam sebagaimana diperintahkan Allah menganjurkan mereka berdua untuk mempersembahkan qurban. Habil yang tulus berkurban dengan yang terbaik yang ia punya; berupa buah-buahan dan hewan ternak terbaik. Sementara Qabil berkurban dengan sisa-sisa harta yang dipunyainya dengan tidak memperhatikan kualitasnya.  Ciri qurban yang diterima saat itu adalah datangnya cahaya dari arah langit yang menyambar qurban tersebut.

 

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ – ٢٧

 

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)

 

Saat itu yang dikurbankan adalah segala sesuatu yang dipersembahkan, bisa hewan, tanaman atau buah-buahan. Hingga masa Nabi Ibrahim tiba. Syariat qurban di zaman beliau digambarkan dalam Surah Ash-Shaffat ayat 102-107.

 

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ – ١٠٢

 

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

 

Dalam pertemuan yang jarang terjadi dengan putranya, Ibrahim mendapatkan ujian berat. Ujian yang menentukan identitas, menaikkan derajatnya sebagai orang yang mencintai Allah. Kecintaan yang tulus yang sudah pasti akan sanggup mengorbankan apa saja atau siapa saja, tak terkecuali anak kesayangannya sekali pun.

 

Nabi Ibrahim sebagai ayah, beliau mengorbankan segala rasa. Rasa rindunya pada sang anak. Rasa sayangnya. Segala rasa yang pasti akan dipahami oleh setiap ayah.

 

Nabi Ismail sebagai anak, beliau berkorban dengan sepenuh jiwa. Karena beliau juga termasuk aktor yang terlibat langsung. Ismail paham ini bukan kehendak ayahnya. Ismail paham ada Dzat yang kekuasaannya jauh lebih besar dari ayahnya. Ismail paham bahwa ayahnya hanya menunaikan perintah. Ismail paham bahwa ayahnya juga sedang menekan segala rasa kepadanya. Ismail paham bahwa cinta ayahnya kepadanya tak diragukan. Ismail paham karena ia diajarkan bahwa inilah saatnya mempersembahkan sebuah pengorbanan. Kesempatan yang mungkin takkan terulang kembali.

 

Hajar, Ibu Ismail dan Istri Ibrahim. Beliau sudah pasti berkorban dengan sepenuh jiwa dan segenap rasa. Meski secara eksplisit jarang tereksplorasi dalam kisah kurban, tapi mari kita visualisasikan kondisi perempuan shalihah ini.

 

Pengorbanannya sudah terlihat ketika dengan penuh qanaah menerima keputusan ditinggalkan oleh suaminya. Ia bersama anaknya harus hidup sebatang kara di suatu lembah yang tiada kehidupan di sana. Ia pun paham ini sebuah misi dari Tuhan yang mengamanahkan seorang anak lelaki kepadanya dan suaminya. Maka ketika ada titah penyembelihan, ia pun segera paham. Itu bukan sembarang ujian. Berat, namun ia paham dan tahu apa yang harus dilakukan. Memperkuat diri dan suami serta anaknya. Bisa jadi beliau tak terlibat langsung. Tapi didikan akidahnya melahirkan seorang Ismail yang langsung siap mengorbankan jiwanya. Didikan suaminya membekas dalam pada karakternya.

 

Kaum beriman belajar berkorban dari keluarga Nabi Ibrahim. Mengorbankan apa saja yang Allah karuniakan dan amanahkan. Seseorang akan dengan ringan mengorbankan waktu, tenaga, jiwa, raga, harta dan apa saja untuk Allah. Dan karena ia tak tahu mana dari segala pengorbanan itu yang akan mengekalkan namanya di sisi Allah, sebagai orang yang dicintai oleh-Nya.

 

Bacalah surah Asy-Syu’ara: 84 ,”dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. Allah kabulkan doa Nabi Ibrahim ini, namanya kekal selalu dibaca oleh bibir-bibir orang shalih; minimalnya di akhir setiap tahiyyat dalam shalat mereka.

 

Syariat qurban ini berlanjut hingga di masa Nabi Muhammad saw diutus Allah kepada seluruh umat manusia. Yaitu dengan menyembelih hewan ternak pada hari Idul Adha dan Hari Tasyriq. Rasulullah sampai menegaskan urgensi qurban ini, “Siapa yang memiliki keluangan rizki dan tidak menyembelih qurban maka jangan mendekat ke tempat shalat kami” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Esensi qurban ini adalah ketakwaan dan menunaikan perintah Allah sebagaimana ditegaskan:

 

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ – ٣٧

 

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj: 37)

 

Setelah hewan qurban disembelih, dagingnya dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan membutuhkannya. Bahkan pequrban pun diperkenankan mengambil Sebagian darinya untuk dinikmati olehnya dan keluarganya.

 

Melalui ibadah qurban ini umat Islam belajar memberikan pengorbanan yang paling baik dari yang diberikan Allah, juga belajar manajemen yang baik termasuk menabung dan mempersiapkan hewan qurban termasuk cara distribusi daging qurban hingga sampai penerima manfaatnya. Dan, yang paling urgen adalah ketakwaan yang dinilai Allah sebagai esensi dan ruh dalam ibadah ini. Melalui ibadah qurban umat ini dididik memiliki karakter selalu berkontribusi dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. (Dr. Saiful Bahri, Lc, M.A)

 

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Tentang Kami
    Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) didirikan pada 4 juli 2011, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mereka yang telah berjasa dalam pengajaran pendidikan keterampilan pemberdayaan dan dakwah di masyarakat.
    Kontak Yakesma
    Jalan Teluk Jakarta No.9
    Komp. AL Rawa Bambu, Pasar Minggu,
    Jakarta Selatan 12520
    Telp: (021) 22 789 677 | WA. 0822 7333 3477
    Email: welcome@yakesma.org
    Sosial Media
    2023 - Yayasan Kesejahteraan Madani