Manfaat Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial

Dalam berbagai kesempatan seringkali dibicarakan tentang beberapa kisah yang terjadi pada masa Rasulullah.

Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal isi kisah tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa, boleh jadi sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan disampaikan di bawah ini.

Namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-kisah ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah ayat Qur'an yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.

Kita terbang lima belas abad kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah SAW berkumpul bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin.

Sekedar menyebut beberapa nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, Suhayb Khabab bin Al-Arat.

Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan Islam.

Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang  di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. 

Mereka berkata kepada Nabi, “Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus  bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kam  sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka  esuka Anda.”

Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, “Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah  bulu  yang  dipakai  sahabat  nabi  yang  miskin).  Buatlah  majelis  khusus  bagi  kami sehingga kami tidak berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami”.

Tiba-tiba turunlah Malaikat Jibril menyampaikan Al Qur’an surat Al-An'am [6] ayat 52: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,   yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Nabi SAW segera menyuruh kaum fuqara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan- akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.

Setelah itu, turun lagi Al Qur’an surat al-Kahfi [18] ayat 28: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama  dengan  orang-orang  yang  menyeru  Tuhannya  di  pagi  dan  senja  hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

Sejak itu, apabila kaum fuqara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan tempat  sebelum  orang-orang  miskin  itu  pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok mereka.

Seringkali beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fuqara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk syurga sebelum orang-orang kaya  setengah  hari,  yang  ukurannya  500  tahun.  Mereka  bersenang-senang  di  syurga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya”.

Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa'ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?” Sa'ad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,” seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.

Bukalah cermin hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan melepuh menunggu uluran kasih sayang kita.

Setelah Nabi, adakah di antara kita yang mau mencium tangan  orang  miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar akademik yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas bila orang miskin mencium tangan kita.

Kalau hati terasa berat, andaikata kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat, bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan dengan kasih sayang pada mereka.

Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai rasa sayang kita pada mereka.

Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita fahami beberapa ayat Al-Qur’an berikut ini:

  • Surat al-Balad [90] ayat 10-18 : “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi MAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan kerabat, atau orang MISKIN yang sangat faqir. Dan dia termasuk  orang-orang  beriman  dan  saling  berpesan  untuk  bersabar  dan  saling berpesan untuk berkasih saying, Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”

 

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan harta kita. Al-Qur'an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi contoh jalan yang sukar.

 

Mengapa disebut jalan yang sukar?  karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk golongan yang kanan; ahli syurga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi. Apakah kita merasa sukar untuk beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya cermin hati yang teramat dalam yang mampu menjawabnya dengan jujur.

  • Surat al-Ma'arij [70] ayat 19-25 : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”

Secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita cenderung untuk kikir.

 

Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita tersebut tidak ada pada diri kita dan padam. Paling tidak, adandua jalan: Pertama, mengerjakan sholat secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk faqir miskin.

  • Surat  al-Qalam  [68]  ayat  17-33  :  “Sesungguhnya  Kami  telah  menguji  mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan : insya Allah. Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil memanggil di pagi hari.

 

“Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”

 

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada seorang MISKINpun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (meonolongnya), Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)”

 

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?”

Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang- orang yang zalim.”

 

Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita”.

 

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui”.

 

Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang terjadi sebelum masa Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan sangat baik betapa harta manusia itu tak ada artinya disbanding kekuasaan Allah. Kebun yang sudah sekian lama diurus dan tinggal sekejap mata saja untuk dipetik hasilnya menjadi musnah terbakar.

 

Apa kesalahan pemilik kebun tersebut sehingga mendapat azab sedemikian rupa?

 

Pertama, mereka lupa bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalam ayat di atas ketika mereka tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar biasa. Mereka lupa bahwa semuanya dalam kehendak Allah swt

 

Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi !

Demikianlah sekedar pengantar untuk pemahaman  kita tentang manfaat zakat ; sekedar saling ingat mengingatkan bahwa di cermin hati kita telah tergambar sejumlah orang yang membutuhkan  kepedulian  kita.  Persoalannya,  maukah  kita  melihat  ke  dalam  cermin tersebut ?

(Sumber: Panduan Zakat Yakesma)

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Tentang Kami
    Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) didirikan pada 4 juli 2011, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mereka yang telah berjasa dalam pengajaran pendidikan keterampilan pemberdayaan dan dakwah di masyarakat.
    Kontak Yakesma
    Jalan Teluk Jakarta No.9
    Komp. AL Rawa Bambu, Pasar Minggu,
    Jakarta Selatan 12520
    Telp: (021) 22 789 677 | WA. 0822 7333 3477
    Email: welcome@yakesma.org
    Sosial Media
    2023 - Yayasan Kesejahteraan Madani