Kembalikan Tradisi Cinta dan Persaudaraan

Di bulan Ramadhan ini mari kita telaah bahasan minal ‘âidîn. Kali ini kita akan berbicara tentang cinta dan persaudaraan. Tentang sebuah kisah nyata dari negeri cinta.

 

Alkisah, sahabat Ali bin Abi Thalib ra hendak sarapan. Ia bertanya kepada istrinya, pagi itu hidangan apa yang akan mereka santap. Fatimah menjawab sedih, bahwa mereka tak memiliki apa-apa. Makanan terakhir mereka sudah dimakan oleh anak-anak mereka semalam. Pagi itu tiada sarapan untuk Ali dan anak istrinya.

 

Ali bergegas bangkit. Kondisi lapar dan keadaannya keluarganya tak menjadikannya lesu dan lemah. Justru sebaliknya, ia bersemangat segera keluar rumah untuk mencari rizki Allah menafkahi keluarganya. Hari yang sulit, dilaluinya dengan penuh semangat. Terik matahari yang membakar tak membuat nyalinya menyusut.

 

Siang yang panas itu dengan jelas menggambar mukanya yang berpeluh. Ia telah menggenggam beberapa keping dirham. Penuh syukur, wajahnya berseri menyiratkan tanda gembira. Ia bersiap untuk segera pulang. Bahagiakan anak istrinya.

 

Di perjalanan, ia bersua dengan sahabat karibnya. Al-Miqdad saudara seiman nya. Wajahnya pucat, badannya basah oleh keringat. Tergurat keletihan yang sangat dalam dirinya. Ia bertanya kabar. Al-Miqdad membalas dengan senyuman yang tertahan. Ali membaca dengan samar tumpukan duka di wajahnya.

 

“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, aku takkan menggerakkan kedua telapak kakiku sebelum engkau bicara jujur padaku apa masalahmu saudaraku?” Ali mengguncangkan badan al-Miqdad. Lirih, ia menjawab bahwa telah dua hari lewat ia tak sanggup memberi makan istri dan anak-anaknya.

 

Ali tertegun sejenak kemudian mencengkeram bahu sahabatnya. Ia mengangkatnya seraya berdiri.

 

“Saudaraku, terimalah ini. Meski tak banyak, terimalah. Bergegaslah pulang. Beri makan keluargamu!” Ali meraih tangan kanan saudaranya, al-Miqdad ia berikan beberapa dirham yang didapatkannya hari itu.

 

Miqdad merangkul nya bahagia. Ia berterima kasih dan segera melaksanakan apa yang dikatakan saudaranya, Ali.

 

Ali menatap tubuh al-Miqdad menjauh dan kemudian menghilang.

 

Sejenak kemudian, ia kebingungan. Apa yang akan dibawanya pulang. Kegundahan yang kemudian menghantarkannya untuk menuju Masjid Nabawi menjelang sore. Di masjid itu Ali berjumpa dengan mertuanya, Nabi Muhammad SAW. Wajah tegarnya membuatnya kembali tersengat semangat. Senyum ramahnya membuatnya sesaat dukanya sirna. Tatapan wibawanya, membuatnya takzim dan membalasnya.

 

“Bagaimana keadaanmu Ali?” Sang mertua bertanya kepada menantunya, Ali.

 

“Alhamdulillah baik, wahai Rasulullah” Ali menjawab santun.

 

Kalimat-kalimat selanjutnya lah yang kemudian membuat Ali benar-benar tertegun. Rasulullah SAW menyatakan bahwa mala mini beliau berhasrat ingin makan malam di rumah Ali!

 

Deg. Jantung Ali serasa berhenti sejenak. Ali mengiyakan apa yang dikatakan oleh mertuanya, Nabi Muhammad SAW. Malamnya dengan langkah ragu Ali mengiringi manusia agung itu bertamu ke rumahnya. Keringat dinginnya terus keluar sambil berpikir apa yang akan dihidangkan untuknya.

 

Setiba dirumahnya, wajah ceria Fatimah menyambut dengan suka cita. Ali keheranan. Karena saat melepasnya pagi tadi wajahnya pucat dan lesu. Keheranannya bertambah ketika istrinya mempersilahkan mereka untuk bersiap menyantap hidangan makan malam.

 

“Wahai suamiku, wahai ayahku. Aku telah menyiapkan hidangan makan malam untuk kalian”

 

Terbengong Ali menatap istrinya. Fatimah merasa tatapan aneh suaminya membawa curiga, ia pun segera berkata, “Maaf suamiku. Sore tadi ada seseorang membawa pesan dari sahabatmu, fulan. Ia berkirim makanan untukmu dan keluargamu”

 

Rasulullah SAW tersenyum, menambahkan. “Ali, menjelang sore tadi Jibril mendatangiku. Ia menyuruhku untuk makan malam di rumahmu”

 

Wajah Ali berseri-seri. Tiada henti ia bertahmid memuji Dzat yang Maha Pemurah dan Penyayang.

 

Itulah sepenggal kisah persaudaraan yang nyata. Bukan sebuah dongeng. Ada puluhan bahkan ratusan kisah serupa. Menjelang Muhajirin hijrah ke Madinah, sahabat Anshar menerima mereka yang bukan siapa-siapa bagi mereka. Kisah cinta dan persaudaraan yang diabadikan sejarah. Yang menjelma menjadi kekuatan dahsyat, saat umat Islam menjalani episode cinta dan persaudaraan dengan baik, maka umat ini benar-benar berwibawa dan bermartabat.

 

Saatnya kita kembalikan tradisi cinta dan persaudaraan ini. Semoga madrasah Ramadan ini menjadikan diri kita kembali sebagai pribadi-pribadi yang saling mencintai sesame muslim. Sehingga tak ada ruang dalam hati kita bernama dengki dan iri. Cerita saling mengkafirkan hanya menjadi bagian kelam masa lalu yang terkubur dalam-dalam. Orang-orang yang menyulut fitnah, membenci, mencaci dan membenci sahabat Nabi SAW juga tak mendapatkan kesempatan berada di tengah-tengah kisah cinta ini. Takkan ada lagi celah untuk mengadu domba. Takkan ada lagi godaan saling menyalahkan dan memojokkan saudaranya. Yang ada adalah saling topang dan menyintai.

 

Musuh-musuh takkan berani lagi mengusik umat ini, karena mereka memahami dahsyatnya kekuatan cinta dan persaudaraan. (Dr. KH. Saiful Bahri, Lc., MA)

 

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Tentang Kami
    Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) didirikan pada 4 juli 2011, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mereka yang telah berjasa dalam pengajaran pendidikan keterampilan pemberdayaan dan dakwah di masyarakat.
    Kontak Yakesma
    Jalan Teluk Jakarta No.9
    Komp. AL Rawa Bambu, Pasar Minggu,
    Jakarta Selatan 12520
    Telp: (021) 22 789 677 | WA. 0822 7333 3477
    Email: welcome@yakesma.org
    Sosial Media
    2023 - Yayasan Kesejahteraan Madani