Idul Fithri: Momentum Mempererat Ukhuwah dan Saling Berbagi Kebahagiaan

Oleh: Dr. H. Atabik Luthfi, Lc, MA

 

الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر
الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا
لااله إلا الله وحـده ,صد ق وعـده ,ونصرعـبده، واعزجـنـد
و هزم الأحزاب وحـده
لااله الاالله ولانعبد الا اياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون ولو كره المشركون ولو كره المنافقون
لااله الاالله و الله اكبر الله اكبر ولله الحمد

الحمد لله الذى جعل العيد يوما مباركا وجعل طاعتنا لله فيه تقربا وقربى..
اشـهـد ان لااله الاالله وحده لاشريك له فالق الحب والنوى واشـهـد ان محمدا عبده ورسوله بعثه الله بالهدى ودين الحق وكفى بالله شهيدا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أهل الصدق والوفاء.
فيا ايها المؤمنون والمؤمنات:أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون واتقوا الله حق تـقاته ولاتموتن إلاوانتم مسلمون

Hadirin kaum muslimin dan muslimat jama'ah shalat Idul Fithri Rahimakumullah

Maha Besar Allah, kepada-Nya segala makhluk tunduk dan bersimpuh!
hanya kepada-Nya kita menyembah, mengabdi. hanya kepada-Nya pula kita memohon pertolongan. Dan kepada-Nya selalu kita mengarahkan dzikir dan do’a. Ditangan-Nya segala kekuasaan. Dia penebar rahmat untuk segenap alam. Karenanya kita senantiasa kumandangkan takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil, terutama saat menyambut datangnya hari kemenangan ‘Idul fithri setelah sebulan berpuasa yang mengantarkan kita ke gerbang fithrah, bersih dan suci ibarat bayi yang baru dilahirkan. ! Allahu Akbar.

‘Idul fithri adalah hari raya agung umat Islam, selain ‘Idul Adha dan hari Jum’at. Keagungan hari raya ‘Idul fithri antara lain pada kedalaman kandungan makna Fithrah itu sendiri. Fithrah dalam arti kembali kepada kemurnian agama (كل مولود يولد على الفطرةH.R. Muttafaqun Alaihi dari Abu Hurairah). Kembali pada kesucian; kesucian hati dan jiwa (tazkiyatun nafs), kesucian pikiran (tazkiyatul fikrah). Fithrah dalam pengertian sunnatullah sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30). Atau juga kembali fithr dalam arti berbuka makan dan minum setelah sebulan penuh berpuasa, yang mengisyaratkan bahwa orang beriman selalu siap mengikuti petunjuk Allah swt dan Rasulullah saw, bahkan dalam makan dan minum, serta kebahagiaan Idul Fithri dengan diharamkannya puasa.

Alangkah baiknya bila ‘Idul fithri dijadikan sebagai momentum bagi mempererat ukhuwwah dengan memperbanyak silaturrahim, saling menziarahi seraya saling mendoakan dengan ucapan: “Taqabbalallahu minna wa minkum”. Saling memaafkan dan saling mengasihi. Akhirnya kembali kepada fithrah dalam arti seutuhnya mengandung makna kembali kepada tuntunan Allah; kembali kepada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, kembali kepada kebaikan dan kemuliaan sebagai hamba Allah swt yang diciptakan dalam keadaan mulia dan fithrah.

 

الله اكبر الله اكبر الله اكبر

 

Berdasarkan urutan kalender hijriyah yang merupakan kalender keta’atan seorang hamba karena berfungsi sebagai tanda waktu ibadahnya kepada Allah, bulan setelah Ramadhan adalah bulan Syawwal. Syawwal menurut bahasa artinya membakar, yaitu membakar dan melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh seseorang dengan berpuasa sebulan penuh dan menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih yang dianjurkan.

Karenanya, inti dari seluruh amaliah Ramadhan yang satu bulan adalah membersihkan dan mensucikan diri dari dosa, seperti yang diisyaratkan oleh hadits Rasulullah saw,

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه  ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

‘Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan landasan keimanan dan hanya mengharap ridha Allah, maka diampuni semua dosanya yang terdahulu. Dan barangsiapa shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu’. (HR. Muttafaqun Alaih)

Dengan modal hati yang bersih, jiwa yang murni, dan pikiran yang jernih, akan mudah menjalankan kebaikan dan berat melakukan kemaksiatan, seperti yang tercermin dalam amaliah Ramadhan yang meningkat signifikan. Itulah salah satu makna implementatif dari firman Allah swt (فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ  “Maka Kami mudahkan dia untuk kemudahan”. (QS. Al-Lail: 7). Sahabat Ibnu Abbas ra menafsirkan ‘kemudahan’ di ayat ini dalam arti mudah menjalankan kebaikan. Besarnya karunia Allah berupa ampunan atas segala dosa di bulan Ramadhan harus diimbangi dengan ibadah dan amal shalih yang lebih banyak dan berkualitas, sebagaimana firman Allah swt:

………ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون

“………Dan agar kamu sekalian menyempurnakan bilangan (puasamu), mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu dan agar kamu sekalian bersyukur”. (QS. Al-Baqarah: 185)

 

Ungkapan mengagungkan Allah swt yang tersebut pada ayat di atas setelah frase agar kamu sekalian menyempurnakan bilangan (puasamu) menurut mayoritas mufassirin maksudnya adalah bertakbir mengagungkan Allah di hari raya Idul Fithri karena berakhirnya ibadah Ramadhan yang dijalankan dengan penuh imanan wahtisaban, sehingga prestasi Ramadhan yang baik tersebut harus disyukuri dengan cara mengagungkan Allah dan memujiNya dengan mengumandangkan takbir tepat ketika berakhirnya puasa di akhir Ramadhan dan ketika memasuki tanggal 1 Syawwal yang merupakan hari kebahagiaan dan kemenangan seorang yang berpuasa.

Bagaimana memaknai bulan syawwal sebagai penyempurna bulan Ramadhan yang sudah kita jalankan?. Ubudiyah di bulan Ramadhan harus tetap dijaga dan dipertahankan di bulan-bulan yang lain sebagai buah dari ibadah Ramadhan. Padahal bulan syawwal merupakan alat ukur pertama keberhasilan Ramadhan seseorang sebelum bulan yang lainnya. Artinya, jika di bulan pertama setelah Ramadhan saja seseorang tidak mampu mempertahankan dan meningkatkan ibadahnya, bagaimana dengan bulan yang lebih jauh jarak waktunya dengan Ramadhan. Maka tidak salah jika para ulama memperhatikan bulan syawwal seperti memperhatikan bulan Ramadhan, karena nilai kedekatan antar kedua bulan tersebut.

Yang dihapuskan oleh Allah swt di bulan Ramadhan adalah dosa-dosa yang terkait dengan hubungan hamba dengan khaliqnya, bagaimana dengan dosa yang terkait dengan hubungan hamba dengan sesamanya. Syawwal hadir untuk menyempurnakan pengampunan dosa, karenanya bulan syawwal identik dengan momen silaturahim untuk saling memaafkan, berlapang dada, dan saling tolong menolong sehingga terjalin hubungan yang baik antar sesama hamba Allah setelah terjalin hubungan yang baik dengan Allah swt.

Zakat fithr (zakat fithrah) yang merupakan kewajiban setiap individu muslim tanpa terkecuali merupakan isyarat agar seseorang mampu berbaik dengan sesama saudaranya setelah ia dengan sungguh-sungguh berbaik dengan Allah swt. Zakat fithr adalah zakat yang istimewa, berbeda dengan zakat pada umumnya karena diwajibkan bagi siapapun, kaya maupun miskin, anak-anak maupun orang tua dengan kadar yang sama sesuai dengan nilai makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat tersebut, agar ia sempurna kembali kepada fithrah yang bersih dan suci. Bahkan Allah swt mengancam akan tetap menggantung amal puasa Ramadhan seseorang hingga ia menunaikan zakat fithrah. Dalam arti, nilai puasanya tidak ada apabila belum/ tidak menunaikan zakat fithr.

Syawwal yang seringkali diidentikkan dengan suasana yang baru seharusnya tetap dikaitkan dengan Ramadhan, terutama terkait dengan ubudiyah. Jika tidak, maka seseorang cenderung memanfaatkan bulan syawwal dalam hal pemuasan atau pelampiasan nafsu yang sebelumnya tertahan dan terkendali. Padahal esensi syawwal diantaranya pengukur sekaligus penyempurna Ramadhan. Seorang yang berpuasa Ramadhan sebulan penuh hanya akan dinilai puasa satu tahun manakala ia menyempurnakannya dengan puasa enam hari di bulan syawwal seperti sabda Rasulullah saw:

 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan syawwal, maka sama dengan ia berpuasa setahun penuh”. (HR. Bukhari Muslim).

 

الله اكبر الله اكبر الله اكبر

 

Nilai lain yang diharapkan hadir di hari fithri ini adalah nilai saling ma'af mema'afkan. karena ternyata secara redaksional, perintah mema’afkan dalam Al-Qur’an menurut Imam Ar-Razi selalu berdampingan dengan taqwa. Sehingga semakin kuat dan besar sikap ma’af seseorang, maka berarti semakin besar dan tinggi nilai taqwanya. Sifat taqwa dan mema’afkan yang terhimpun dalam pribadi Abu Bakar inilah yang menjadikan beliau orang kedua setelah Rasulullah saw dalam hal akhlak yang mulia. Dan sekali lagi bahwa pesan taqwa merupakan pesan dan target yang akan dicapai setelah menjalani ibadah Ramadhan dengan baik dan benar sehingga sikap ma’af dan lapang dada seharusnya hadir mewarnai hari-hari pasca Ramadhan yang diawali dengan saling mema’afkan di hari raya Idul Fithri.

Malah Idul Fithri yang merupakan hari pertama pasca Ramadhan selayaknya menjadi parameter diri tentang sifat pema’af yang ada dalam diri kita setelah melalui proses pembinaan kesabaran, kelembutan hati dan kelapangan dada selama bulan Ramadhan. Begitu banyak nilai “imsak” (menahan diri), baik dari nafsu syaithaniyah maupun hayawaniyah yang mampu kita kendalikan selama mengharungi bahtera Ramadhan. Tentu, kesalihan moralitas harus senantiasa tampil mewarnai kita sebagai buah dari shiyam dan qiyam yang imanan wahtisaban. Salah satu dari sifat yang diasah dalam Universitas Ramadhan adalah sifat sabar dan lapang dada dengan siap membuka pintu ma’af kepada siapapun dan dalam keadaan apapun, “jika ada seseorang yang mencela atau menyerangmu, maka katakanlah kepadanya: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa”. Begitu Rasulullah saw mengajarkan sikap yang mulia ketika sedang dalam keadaan berpuasa.

Bahkan lebih tinggi lagi perintah mema’afkan terhadap keluarga, karena Allah memerintahkannya dengan tiga sifat secara bersamaan seperti yang tersebut di surah At-Taghabun: 14, yaitu “wain ta’fu – watashfahu – wataghfiru“ yang artinya mema’afkan, tidak mengeluarkan kata-kata yang identik dengan celaan dan hinaan, serta memohon ampunan atas kesalahan mereka. Sikap seperti inilah yang pernah dicontohkan oleh Yusuf as ketika bertemu dengan saudara-saudaranya yang notabene dahulu mereka pernah melukai, bertindak keji, bahkan akan membunuhnya. Tidak terbersit sedikitpun di hati Yusuf rasa dendam terhadap mereka pada saat Yusuf mampu untuk melakukannya. Allah berfirman mengabadikan sikap Yusuf mulia ini dalam Al-Qur’an, “Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah juga mengampuni (kesalahan kamu dahulu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang“. ( Yusuf: 92)

 

الله اكبر الله اكبر الله اكبر

 

Dalam konteks perintah mema’afkan, perintah ini berlaku bagi setiap manusia, karena pasti ia bersinggungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai bentuk mu’amalah sehari-hari. Karenanya, perintah memaafkan di dalam Al-Qur’an ditujukan juga kepada manusia pema’af sepanjang zaman, yaitu Rasulullah saw dan Abu Bakar ra. Kepada Rasulullah saw, Allah swt berfirman memerintahkan: “Jadilah engkau pema`af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raf: 199)

Ayat ini diperjelas dengan riwayat yang dikutip oleh Imam Thabari dalam tafsirnya yang merupakan hadits Jibril as: “Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau agar memaafkan meskipun terhadap orang yang menganiaya engkau, memberi kepada orang yang justru menahan pemberiannya dan menyambung tali silaturahim meskipun kepada orang yang memutuskannya”. Jika Rasulullah diperintahkan untuk bersikap demikian, maka secara prioritas umatnyapun diperintahkan untuk meneladaninya, seperti dalam kaidah ilmu tafsir : “Perintah yang ditujukan kepada Rasulullah juga perintah kepada umatnya secara prioritas”.

Kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, Allah swt juga perintahkan untuk memaafkan, yaitu kepada sepupunya Misthah bin Utsatsah yang telah melukai hatinya dengan menyebar tuduhan palsu yang dikenal dengan istilah ‘haditsul ifki’ yang melibatkan Aisyah, putri kesayangannya. Saat itu, Abu Bakar telah bersumpah untuk memutuskan hubungan kekerabatan dan menghentikan bantuan keuangan yang biasa diberikan kepada Misthah. Namun ketika Abu Bakar menerima perintah Allah: “Dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”. (An-Nur: 22), beliau spontan menjawab pertanyaan Allah tersebut dengan ungkapannya yang masyhur, “Ya Allah, aku lebih suka agar Engkau mengampuniku. Dan aku sudah mema’afkannya”.  Bahkan Abu Bakar kembali memberi bantuan kepada saudaranya yang telah menzaliminya tersebut.

Kemenangan dan kesuksesan nabi Yusuf as justru karena beliau memiliki ‘stok‘ ma‘af yang tidak pernah habis. sikap mema’afkan dan mengampuni saudaranya memang merupakan tuntutan kehidupan nyata dan akan senantiasa hadir mewarnai kehidupan seseorang karena memang manusia diciptakan oleh Allah untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam proses melakukan interaksi, mungkin hanya sedikit diantara kita yang bisa bersih dari konflik. Ada kalanya karena suatu masalah yang kecil, lalu didukung dengan tiupan godaan dan bisikan syetan, kita terlibat dalam pergulatan konflik, kebencian, bahkan dendam. Padahal sudah jelas bagi kita bahwa memaafkan dan berlapang dada adalah yang terbaik dari semua sikap yang menjadi pilihan kita. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,

 

تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين والخميس فتعطى مغفرته لعباده لايشركون به شيئا الا لعبد بينه وبين أخيه شحناء, فقال الله لملائكته: أنظروا لهذين حتى يصطلحا أنظروا لهذين حتى يصطلحا

“Pintu-pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis. Kemudian ampunan diberikan kepada semua hamba yang tidak menyekutukan Allah, kecuali seorang hamba yang ada permusuhan antara dirinya dan saudaranya. Maka Allah memerintahkan kepada malaikat, “Tangguhkan bagi kedua orang itu hingga keduanya berbaikan. Tangguhkan bagi kedua orang itu hingga keduanya berdamai”. (H. R. Muslim)

 

Dalam rangka menguatkan ikatan ukhuwwah dalam maknanya yang luas, tuntunan nabi saw adalah dengan saling berbagi, serta memberikan kemudahan dan kebahagiaan kepada sesama, dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah, serta hadiah. Contoh konkrit hubungan ukhuwwah terbaik sepanjang masa adalah antara kaum Muhajirin dan Anshar yang diabadikan oleh Allah swt,

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟  وَيُؤْثِرُونَعَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr: 9)

Rasulullah saw meyakinkan bahwa memberikan kebahagiaan kepada orang lain adalah amal yang mulia. Demikian juga saling berbagi hadiah akan menimbulkan cinta dan kasih sayang.

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan hutangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani).

Terakhir Marilah kita jaga salah satu dari buah pelaksanaan ibadah Ramadhan dengan senantiasa menghadirkan sifat pema’af terhadap kesalahan orang lain, terutama terhadap keluarga kita yang merupakan bagian yang tidak mungkin terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, bahkan selalu menyertai dan mendampingi kita, dimanapun dan kapanpun, sehingga kita termasuk yang mendapat ma’af dan ampunan Allah karena kita termasuk yang mema’afkan kesalahan sesama makhlukNya. Minimal kita amalkan prinsip ini dalam do’a yang diajarkan oleh Allah swt untuk memohon ampunan bagi setiap orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia:

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka berdo’a: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu, dan janganlah Engkau tanamkan kebencian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang”. (Al-Hasyr: 10)

 

الله اكبر الله اكبر الله اكبر

 

Ma'asyiral Muslimin wal Muslimat Jama'ah Shalat Idul Fithri yang dimuliakan Allah

 

Sebagai wujud pelaksanaan akan perintah Allah dan Rasulullah saw, mari kita berdoa dan bermunajat di hari yang mulia ini untuk kebaikan kita, orang tua kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan umat Islam secara keseluruhan. mudah-mudahan mereka senantiasa dalam perlindungan Allah swt dimanapun mereka berada.

Mari kita awali doa dan munajat kita di hari mulia nan membahagiakan ini dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah saw:..

اللهم فصل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين

بسم الله الرحمن الرحيم …الحمد لله رب العالمين…حمدا يوافى نعمه ويكافىء مزيده يارب لك الحمد ولك الشكر ولك الملك كما ينبغى لجلال وجهك وعظيم سلطانك….

اللهم اغفر لنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغارا

اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم واﻷموات برحمتك يا أرحم الراحمين

اللهم انصر المسلمين المستضعفين فى كل مكان وفى كل زمان خاصة فى بلاد فلسطين. اللهم وفقهم ووحد صفوفهم وسدد خطاهم واشف مرضى وجرحاهم وتقبل شهداءهم

اللهم انصرنا فإنك خير الناصرين وارزقنا فإنك خير الرازقين وافتح علينا فآنك خير الفاتحين وتب علينا فإنك أنت التواب الرحيم واهدنا ووفقنا للعمل بما فيه صلاح الإسلام والمسلمين

ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين

 

 

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Tentang Kami
    Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) didirikan pada 4 juli 2011, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mereka yang telah berjasa dalam pengajaran pendidikan keterampilan pemberdayaan dan dakwah di masyarakat.
    Kontak Yakesma
    Jalan Teluk Jakarta No.9
    Komp. AL Rawa Bambu, Pasar Minggu,
    Jakarta Selatan 12520
    Telp: (021) 22 789 677 | WA. 0822 7333 3477
    Email: welcome@yakesma.org
    Sosial Media
    2023 - Yayasan Kesejahteraan Madani