Ibadah Harta dan Penundaan Kematian

وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقۡنَـٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن یَأۡتِیَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَیَقُولَ رَبِّ لَوۡلَاۤ أَخَّرۡتَنِیۤ إِلَىٰۤ أَجَلࣲ قَرِیبࣲ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِینَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku pasti akan bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” [QS. Al-Munafiqun 10]

Ayat ini merupakan satu-satunya ayat permohonan penangguhan atas kematian seseorang di dalam Al-Qur'an, dengan bahasa penyesalan ‘Sekiranya Engkau tangguhkan kematianku sedikit waktu'.

Penyesalan yang dituturkan ini diiringi dengan komitmen beramal, jika dipenuhi permohonan penangguhan waktu kematian tersebut, ‘aku pasti akan bersedekah'.

Betapa takutnya seseorang saat menghadapi kematian dan sakaratul maut,  ia memohon kepada Allah swt agar waktu kematiannya ditunda beberapa waktu, agar dapat beribadah harta.

Pilihan amal yang akan dijalankan untuk mendapat penangguhan kematian adalah sedekah, bukan ibadah lainnya seperti shalat, puasa, haji, dan sejenisnya.

Sungguh pilihan yang tepat, karena amal sedekah dalam beragam bentuknya merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan, termasuk dalam menghadapi kematian dan menghindarkan keburukan

       Dalam beberapa hadits disebutkan keutamaan sedekah yang dikaitkan dengan penangguhan kematian dan keselamatan dari bala'.

Misalnya, “Sesungguhnya sedekah seorang muslim bisa menambah umurnya, bisa mencegah kematian yang su’ul khotimah, Allah bakal menghapus sifat arogan, kefakiran, dan sifat berbangga diri darinya” (HR Thabrani).  “Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak pernah bisa mendahului sedekah.” (HR. Imam Baihaqi).

       Permohonan penangguhan juga karena ia menyadari sepenuhnya atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia yakin sedekahlah amal pilihan yang tepat untuk menghapus dosa-dosanya, sehingga ia layak meraih surga.

Rasulullah saw bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air  memadamkan api“. (HR. Tirmidzi). Ia yakin, pasca kematian pun pahala sedekah tetap mengalir, sehingga dapat menambah akumulasi pahalanya kelak,  “Apabila anak cucu Adam meninggal dunia, terputuslah pahalanya, melainkan tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan “. (HR. Muslim).

Bahkan nilai poin sedekah diperumpamakan oleh Allah swt dengan nilai 700 kali lipat lebih,  “Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT,  (ia) bagaikan (menebar) sebutir benih. (sebutir benih itu) menumbuhkan tujuh tangkai, dan dalam tiap-tiap tangkai tumbuh 100 butir.” (QS. Al-Baqarah: 261).

Inilah perumpamaan terbesar yang terdapat di dalam Al-Qur'an, yaitu perumpamaan tentang ibadah harta, berupa wakaf, infak, dan sedekah. Seorang yang akan menghadap Allah swt, tentu sangat berharap sudah menyiapkan bekal terbaik dan terbanyak melalui harta kekayaannya.

       Di akhir ayat, disebutkan komitmen kedua yang pasti ia akan penuhi manakala diberikan penangguhan waktu kematian, yaitu termasuk golongan orang-orang yang shalih. Ternyata parameter keshalihan seseorang ditentukan oleh ibadah hartanya.

Artinya, tidak dikatakan shalih manakala ia tidak mampu berwakaf, berinfak, dan bersedekah. Demikian makna korelasi ungkapan penyesalan “aku pasti akan bersedekah, dan menjadi orang-orang yang shalih'.

Rasulullah saw malah mengaitkan antara keimanan seseorang dengan amal sedekahnya sebagai pembuktian keimanan,“Sedekah adalah bukti.” (HR. Muslim) Imam An-Nawawi memberikan syarahnya terhadap hadits ini, “Yaitu bukti kebenaran imannya. Justru dinamakan sedekah صدقة karena merupakan bukti dari ‘Shidqu Imanihi (kebenaran imannya)”.

       Sebab Nuzul dan historis ayat ini disebutkan dalam beberapa riwayat dari sahabat Ibnu Abbas ra. Intinya, orang-orang yang berharta tetapi tidak menunaikan hak harta, maka kelak ia akan meminta penangguhan dan dikembalikan ke dunia agar dapat menunaikan hutang ibadah hartanya.

Imam Al-Qurthubi menyimpulkan, ayat ini menunjukkan wajibnya segera menunaikan ibadah harta, sebelum berakhirnya waktunya, yaitu kematian. Karenanya, di ayat tersebut dinyatakan batas waktu sedekah, yaitu sepanjang hayat, dalam berbagai keadaan dan situasi, sebelum datangnya kematian, ‘min qabli an ya'tiya ahadakumul maut'.

Mafhumnya, Seorang hamba yang tidak berinfak dikategorikan sebagai seorang yang lalai, dan tentu sangat merugi setelah kematiannya. Untuk itulah ia berharap dan memohon penangguhan kematian.

       Demikian agung ibadah harta yang bersifat sukarela, yaitu wakaf, infak, dan sedekah. Ketiganya dijadikan alat bargaining kematian oleh setiap orang saat sakaratul maut, karena sangat berharap ibadah harta tersebut akan menyelamatkannya di hari kiamat kelak.

Terlebih ibadah harta sekarang dipermudah dengan hadirnya teknologi digital, sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak beribadah harta. Dengan bantuan tekonologi, ibadah harta dapat dijalankan kapanpun dan dimanapun, bahkan waktu ibadah harta dapat dipersingkat, sehingga ungkapan ‘Pasti aku akan bersedekah’ mengisyaratkan kemudahan menjalankan ibadah harta dibanding ibadah jasadiah. Yakinlah ibadah harta kita akan berdampak pada kebaikan individu, keluarga dan masyarakat semuanya, Insya Allah. (red: Dr. Atabik Luthfi, MA)

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Tentang Kami
    Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) didirikan pada 4 juli 2011, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mereka yang telah berjasa dalam pengajaran pendidikan keterampilan pemberdayaan dan dakwah di masyarakat.
    Kontak Yakesma
    Jalan Teluk Jakarta No.9
    Komp. AL Rawa Bambu, Pasar Minggu,
    Jakarta Selatan 12520
    Telp: (021) 22 789 677 | WA. 0822 7333 3477
    Email: welcome@yakesma.org
    Sosial Media
    2023 - Yayasan Kesejahteraan Madani